Long Time No See (B.I Ver.)

Long time no see, how have you been these days?

“Fyuh, selesai juga akhirnya.”

Ran menghembuskan napas lega, berkacak pinggang menatap kardus terakhir yang telah disegelnya dengan rapi. Flat nya sekarang nampak sangat kosong, setelah sebelumnya dipenuhi tumpukan buku – buku dan barang – barangnya.

Dua hari lagi.
Gadis itu membatin.

Dua hari lagi dan ia harus siap untuk kembali, menghadapi masa lalu dimana gadis itu pernah melarikan diri.

Hari masih pagi namun gadis itu tak tahu apa lagi yang harus dilakukan. Dia menggapai ponsel nya di nakas, memilih untuk mengecek pesan yang masuk setelah dua jam packing yang melelahkan.

Dua pesan, satu dari Bryan, partner tesis nya dan satu dari operator maskapai penerbangan yang mengonfirmasi jadwal penerbangannya lusa.
Dan ada satu voice mail dari ayahnya. Dengan enggan gadis itu memutar ulang voice mail nya.

“Ran, ini ayah. Jangan lupa pertemuan nanti sore. Ayah sudah mengirimkan alamatnya via email. Jangan terlambat ya, sayang.”

Yang benar saja. Ran memang menyetujui persyaratan yang diajukan ayahnya ketika ia melarikan diri menerima beasiswa untuk profesi kedokterannya di Inggris, tapi kenapa secepat ini?
Gadis itu teringat argumen mereka tiga tahun yang lalu.

Tapi Yah, aku masih muda. Lagipula, aku sudah lolos tes tahap dua untuk profesi ku di Oxford. Bukannya Ayah mendukungku sebelumnya?

Tentu saja, sayang. Ayah sangat mendukungmu. Tapi perjodohan ini sudah kami rencanakan jauh – jauh hari. Lagipula, bukankah lebih aman bagimu berada di negara orang dengan status yang sudah pasti? Ini akan menjagamu, Ran.

Tidak mau. Aku ingin belajar, bukannya terkekang menjadi calon istri orang.

Baiklah kalau begitu, dengan terpaksa ayah takkan menyetujui beasiswamu.

Ayah?! Aku sudah sangat berjuang untuk ini. Kenapa ayah sangat tega padaku?

Dengan satu syarat, Ran. Kau boleh pergi bila kau menyetujui perjodohan ini.

Aku tidak-

Calon suamimu bersedia menunggu, kok, Sayang. Kalian bisa bertunangan setelah kau menyelesaikan Master mu. Bagaimana?

—-

Dan tak ada yang bisa kulakukan untuk menolak hal tersebut.
Ran mendengus mengingatnya. Bagaimanapun, beasiswa itu lebih penting bagi Ran, jadi gadis itu hanya bisa menyetujuinya. Setelah dia pikir ulang, tenggat waktu 3 tahun itu ternyata sangatlah sedikit. Setelah ini dia akan terkekang dengan calon suaminya nanti. Ran teringat Seoul dan hatinya yang ia tinggalkan di sana. Teringat satu hati yang tak sengaja ia lukai ketika ia pergi, kembali pun ia takkan pernah sama lagi.
Lagipula, ide macam apa sih, yang sedang dikembangkan ayahnya itu? Tidak cukup kah menunggunya di Korea saja?
Gusar, dia membuka email yang tadi disebutkan oleh ayahnya.

“Grand Canal cafe, meja nomor 5 pukul 4 sore. Berdandanlah yang cantik, Sayang. Dan jangan terlambat.”

Love,

Ran bergidik membaca love yang disisipkan ayahnya, namun tak urung ia tersenyum. Well, paling tidak tempat pilihan calon tunangannya itu oke. Ran menyukai Grand Canal selain karena cafe itu berada di tepi Thames, juga karena mereka menyediakan beberapa rak buku yang isinya lumayan lengkap. Gadis itu cukup sering menghabiskan waktu di sana.
Tapi dia masih tak mengerti kenapa ayahnya tetap ngotot tak mau memberikan foto calon tunangannya itu.

Sayang, calon tunanganmu akan menjemputmu ke Oxford nanti. Ia akan menemanimu pulang.

A-apa?? Ayah, yang benar saja??

Ei, ayah serius. Kau harus menemuinya nanti, oke?

Eh, er, oke? Tapi bisakah ayah mengirimiku foto nya? Supaya aku dapat mengenalinya, maksudku.

Oh itu tidak perlu,kau akan langsung mengenalinya, kok. Bukankah kalian sudah pernah bertemu sebelumnya?

—-

Apa ayah pikir aku ini punya ingatan fotografis?
Ran mendesah frustasi teringat percakapan via telepon dengan ayahnya minggu lalu.
Yang benar saja, terakhir kali dia bertemu dengan Kim Jinwoo di salah satu pesta perusahaan Kim itu adalah ketika dia berusia 10 tahun. Itupun hanya beberapa menit berbicara. Sisanya mereka habiskan dengan menyantap kue – kue cantik yang menggiurkan, khas anak – anak. Jadi mana mungkin sekarang Ran bisa ingat??
Kim Jinwoo yang diingingatnya hanyalah sebatas anak laki – laki mungil berbibir merah dengan senyum manis. Skandar Keyness pun seperti itu.

Gadis itu mengacak rambutnya kesal. Berpikir itu melelahkan.
Bersandar di sofa, Ran teringat perkataan Bryan.

Paling tidak, Kau kan tahu siapa calon tunanganmu.

Iya, sih. Ran tahu. Ran tahu ayahnya akan menjodohkannya dengan pewaris keluarga Kim. Karena persahabatan mereka sangat erat, katanya. Walaupun gadis itu tahu semua ini dilakukan semata – mata untuk memperkokoh jaringan rumah sakit ayahnya dengan sokongan dari perusahaan farmasi yang dimiliki keluarga Kim. Huh, derita menjadi anak tunggal dan pewaris keluarga?

Untung saja Kim Jinwoo itu hanya setahun lebih tua darinya. Ran tak bisa membayangkan bila ia dipaksa menikah dengan pria yang sudah berumur.
Ngomong – omong, Kim Jinwoo ini juga seorang dokter, kan? Ran sudah mengorek sedikit informasi dari ibunya. Pria itu seorang internist di Seoul, buka praktek sendiri. Baguslah, paling tidak obrolan mereka akan nyambung.

—-

Sudah pukul tiga sore ketika Ran memutuskan untuk berangkat. Lebih baik menunggu, pikirnya. Lagipula gadis itu juga cukup penasaran dengan calon tunangannya sekarang. Perjalanan ke Grand Canal cafe hanya memakan waktu lima belas menit dari flat nya bila ia menggunakan trem atau bus. Tapi Ran memilih untuk bersepeda hari ini, cuacanya sedang bagus dan ia ingin mengingat setiap jengkal Oxford sebelum meninggalkannya.

Pukul tiga sore lebih empat puluh menit ketika Ran memarkirkan sepedanya di depan Grand Canal cafe. Gadis itu kemudian memasuki cafe, menyapa pelayan yang menunggu kehadirannya. Tunggu sebentar, kenapa dia berdebar?

“Selamat sore, saya sudah reservasi atas nama Ran?”

“Selamat sore Nona Ran, meja nomor lima pukul empat sore. Anda datang lebih awal, Nona?”
Pelayan itu tersenyum ramah, beranjak mengantarkan Ran menuju mejanya.

“Um, yeah.”
Gadis itu mengangguk kecil, berterima kasih ketika telah tiba di mejanya.

Afternoon tea, Nona?”

“Oh, ya. Earl Grey dengan susu dan tanpa bergamot, terima kasih.”

Tiga menit kemudian afternoon tea nya telah tiba, bersama dengan satu set scone dan biskuit. Meja nya terletak di sisi luar bagian dalam cafe, langsung menghadap Thames. Bau tanah yang khas menyergap ketika angin semilir berhembus, Ran menghela napas. Sepertinya semua akan berjalan dengan baik, semoga.

—-

Ran sedang membaca bagian dimana Magnus bertemu dengan Edmund Herondale ketika ia merasa seseorang berdiri di hadapannya. Gadis itu terlalu larut dalam bacaannya sehingga tak menyadari sudah pukul berapa sekarang.

“Apakah Magnus Bane juga suka duduk di tepi Thames, Ran?”

Suara yang jernih itu menyadarkannya. Ran mendongak dari buku, menatap tak percaya si pemilik suara yang masih berdiri di hadapannya.

“Kau.. Tapi, Jinwoo..”
Kehilangan kata – kata, gadis itu hanya diam saja ketika pelayan menghampiri mereka berdua, mempersilakan lelaki di depannya duduk.

Afternoon tea, Tuan Kim Hanbin?”

“Aku kopi hitam saja.”

Satu
Dua
Tiga

Butuh lima menit untuk Ran mencerna semua hal dan dari lima menit penuh kesunyian di antara mereka, hanya lelaki itu yang terus menatapnya.

“Oke,”
Setelah tujuh menit berlalu, akhirnya gadis itu bersuara. Lawan bicaranya menatapnya penuh minat, membuat Ran rikuh.

“Kau, sedang apa di sini?”
Pertanyaan bodoh macam apa sih, Ran? Bukannya ini keinginanmu selama ini?
Gadis itu merutuki dirinya sendiri dalam hati.

“Menjemputmu, tentu saja.”
Pemuda itu tersenyum, menimbulkan rasa ngilu di jantung yang sudah lama tak Ran rasakan. Gadis itu masih diam.

“Lama tak bertemu ya, Ran. Bagaimana kabarmu?”

“Uhm, aku.. Baik.”
Beribu pertanyaan berkecamuk dalam pikirannya namun tak dapat terucap. Bibirnya terasa kelu hanya dengan memandang pria di hadapannya ini.

“Senang mendengarnya langsung darimu,”
Pemuda itu tersenyum ketika kopinya datang, berterima kasih ke pada pelayan dan kembali memandang Ran.

“Tak adakah yang ingin kau tanyakan padaku? Setelah sekian lama kita tak berjumpa, maksudku.”

Setelah dua hembusan napas panjang, akhirnya Ran sanggup bertanya.

“Kenapa kau ada di sini, Hanbin – ah?”

“Bukankah sudah kubilang padamu tadi, Noona. Aku datang untuk menjemputmu.”
Satu senyum lagi dan mendadak perut Ran terasa melilit. Nervous yang tidak pada tempatnya itu menyebalkan.

“Tapi Jinwoo-”
Tunggu sebentar, apakah ini mungkin??

“Apa, apakah Kau adik Kim Jinwoo?”

“Dan kakak Kim Hanbyul. Tepatnya sih begitu.”

Cengiran lebar Hanbin membubarkan semua kemungkinan – kemungkinan lain dalam pikiran Ran. Sekarang gadis itu merutuki kebodohannya sendiri.

“Oh, ya. Tentu saja.”
Tentu saja, sekarang semuanya menjadi mungkin. Kalau tidak, dari mana anak itu bisa mendapatkan akses masuk ke ruang tunggu pasien setiap hari.

“Dan kau, pewaris Kim Pharmacy.”

“Well,– ah, tunggu sebentar. Halo?”
Ran hampir mati penasaran ketika pemuda itu mengangkat telepon di ponsel nya, namun lebih kaget ketika Hanbin beringsut mendekatinya.

“Sebentar, ada yang ingin berbicara denganmu.”

Hanbin meletakkan ponsel nya di depan vas lily of the valley yang harumnya menguar, sekarang pemuda itu duduk persis di samping Ran. Layar ponselnya menampilkan sesosok gadis kecil dengan rambut panjang terurai. Ran hampir menangis melihatnya.

“Dokter Ran!”

“Hai, Hanbyul.”
Ran tersenyum. Tiga tahun berlalu dan gadis itu baru menyadari betapa ia merindukan kehidupan lamanya dulu.
“Apa kabarmu, Sayang? Rambutmu sudah panjang.”

“Eum, aku bertambah tinggi. Dan aku sudah bersekolah, Dokter. Aku kelas dua!”

“Wah, kau sudah besar ya, Hanbyul.”
Ran terharu. Gadis kecil yang dulu dirawatnya sepenuh hati kini telah tumbuh dengan baik. Dia tidak menyadari pemuda di sampingnya yang menatapnya sedari tadi hingga Hanbyul berbicara kembali.

“Iya, aku akan tumbuh besar dan pintar supaya aku bisa menjadi dokter seperti Dokter Ran dan Jin oppa. Benar kan, Bin Oppa?”

“Tentu saja, nona Kim Hanbyul akan menjadi dokter yang baik dan penyayang seperti dokter Ran.”
Pandangan mereka bertemu ketika Ran mengalihkan pandangannya dari gadis kecil di layar ponsel. Satu remasan kuat di dadanya ketika ia menangkap pantulan dirinya di sepasang mata onyx Hanbin.

“Baiklah, di sini sudah malam. Aku harus segera tidur. Dah Dokter Ran, dah Bin Oppa. Terima kasih telah menepati janjimu. Selamat malam.”
Gadis itu melambai riang ke kamera, membuat Ran dan Hanbin tersenyum bebarengan.

“Selamat tidur, Hanbyul.”

“Jadi,”

Syukurlah Hanbin berinisiatif untuk memundurkan kursinya lagi, memberi jarak di antara mereka. Ran akan membutuhkan CPR bila hal tersebut berlangsung lebih lama.

“Kau kangen dengan Hanbyul.”

“Tentu saja,”
Tentu saja, Ran sudah menganggap Hanbyul seperti adiknya sendiri.

“Terima kasih. Kupikir, paling tidak, bila kau telah melupakanku kau masih mengingat Hanbyul.”
Aku tak mungkin melupakanmu.
Ran ingin berteriak sekencang mungkin agar pemuda di depannya ini tahu, namun tak bisa.

“Kau belum menjawab pertanyaanku yang terakhir.”

“Ah, ya. Dan ya. Aku pewaris Kim Pharmacy.”
Hanbin menyesap kopinya sedikit, mencecap hangat yang mulai menghilang.

“Kupikir Kim Jinwoo adalah pewaris Kim Pharmacy.”

“Apa kau menginginkan hyung sebagai tunanganmu?”

Bukan seperti itu.
Ran sudah bersiap menerima kemungkinan terburuk ketika gadis itu malah mendapatkan apa yang sekuat tenaga ia coba lepaskan sedari dulu. Apakah ini hanya khayalannya saja?

“Bukan begitu, Hanbin – ah.”

Well, melihat seberapa keras upayamu untuk melepaskan diri dari perjodohan ini, kupikir itu benar.”
Pria itu terlihat merenung.

“Kau tahu, Ran, sangat sulit untuk mengejarmu, menjajarkan diri denganmu.”

Pemuda itu menatapnya intens, membuatnya lupa akan Thames yang telah menemaninya selama tiga tahun. Apa yang ada di hadapannya sekarang adalah apa yang dulu sempat ia anggap sebagai masa depan.

“Kalau saja kau tidak menolak perjodohan itu, mungkin sekarang kita sudah menikah dan bisa memberikan Hanbyul keponakan, he he.”

Yah! Dulu Kau masih di bawah umur.”
Ran tak habis pikir, pemuda ini sama sekali tak berubah. Apakah perasaannya juga tak berubah barang sedikit pun?

“Jadi, Kau calon tunanganku.”

“Sejak lima belas tahun yang lalu sih, iya. Apa kau benar – benar hanya mengingat Jinwoo hyung, Ran? Apa kau melupakan ini?”

Hanbin mengangsurkan satu kotak kecil berwarna gading, terbuat dari semacam bahan yang keras, berisi tiga lembar band aid bergambar karakter kartun yang warnanya mulai pudar dimakan usia. Dan kemudian Ran mengingat semuanya.

“Huhuhuhu, sakit..”

Ran kecil mendengar tangis seorang anak di balkon ketika dia menyelinap keluar dari pesta perusahaan yang diadakan ayahnya. Gadis itu mencari asal suara dan menemukan seorang anak laki – laki yang lebih kecil darinya, terduduk memegangi lututnya yang tergores.

“Hei, kau kenapa?”
Takut – takut, Ran menghampiri anak itu. Dia manusia, kan? Ran bisa melihat kakinya kok.

“Aku, aku jatuh ketika sedang memanjat balkon.”

Ran kecil hampir terkikik mendengar alasan anak itu, namun ia menahannya. Tidak baik menertawakan orang lain yang sedang tertimpa musibah,kata ayahnya.

“Baiklah, eh, siapa namamu?”

“Kim Hanbin.”

“Baiklah Kim Hanbin, aku bisa mengobati lukamu. Aku punya peralatan antiseptik di dalam kamarku, apakah kau mau ikut?”

“O-oke, tapi aku tak bisa berjalan.”

“Oh jangan manja. Anak lelaki harus kuat.”

Ran membantu anak itu berdiri dan memapahnya ke kamarnya sendiri.

“Diam di sini,”
Ran mendudukkan Hanbin di kursi belajarnya dan beranjak mengambil kotak antiseptik yang ibunya simpan di kamar mandi.

“Ini akan terasa sedikit sakit, oke? Kau harus menahannya.”
Ucap Ran sebelum gadis itu mengusapkan cairan antiseptik di luka Hanbin. Anak laki – laki itu sudah nampak akan menangis jadi Ran tak mau menunggu lebih lama lagi.

Setelah proses pembersihan yang cukup lama disertai dengan isakan dari Hanbin, akhirnya Ran menempelkan plester band aid bergambar pororo di luka anak laki – laki itu. Lukanya sudah bersih dan tertutup sempurna.

“Kau datang dengan siapa? Aku bisa membantumu mencari keluargamu kalau kau mau.”

“Ayah dan Hyung, tapi aku memisahkan diri dari Hyung tadi.”

“Siapa nama kakakmu?”

“Kim Jinwoo.”

“Oh, Kim Jinwoo? Aku mengenalnya. Akan kubantu kau mencarinya.”

Ketika Ran dan Hanbin kembali ke ruang pesta, rupanya pesta sudah hampir selesai. Ran melihat Jinwoo yang berdiri di samping beberapa orang tua, gadis itu melambai – lambaikan tangan memanggilnya. Jinwoo ya!

Jinwoo melihat mereka dan memberi tahu salah seorang pria yang ada di situ, rupanya ayah Ran juga berada di sana. Sekarang ayah Ran, Jinwoo dan ayahnya menghampiri mereka.

“Astaga Hanbin, ayah pikir kau menyelinap keluar dan memaksa tuan Kang untuk mengantarkanmu pulang lagi. Apa yang terjadi, kenapa kau bisa bersama dengan Nona Ran?”

Ran tak sanggup lagi menahan tawa. Kekehan kecil meluncur dari mulutnya, yang kemudian dihadiahi lirikan sengit dari Hanbin.

“Saya menemukan Hanbin di balkon kami, Tuan Kim. Habis terjatuh.”

“Astaga, untung Ran menemukanku kan, Hanbin. Apa kau sudah mengucapkan terima kasih padanya?”
Jinwoo memperhatikan lutut adiknya yang sudah berhias band aid pororo. Lucu karena biasanya anak itu sangat anti dengan hal – hal imut seperti itu.

“Belum. Terima kasih, Noona.”
Hanbin kecil membungkuk 90° membuat Ran tersenyum.

“Ini untukmu,”
Gadis itu menyerahkan kotak berisi tiga band aid sisa yang tadi ia gunakan untuk Hanbin.

“Ganti sehari dua kali, oke? Setiap kau selesai mandi.”

Hanbin kecil hanya menunduk dan menerimanya dalam diam. Namun tiba – tiba anak itu berkata.

“Noona, kupikir aku akan sering jatuh dan terluka. Apa kau mau menjadi istriku untuk merawat luka – lukaku?”

Ayah Ran yang melihatnya spontan tertawa.

“Wah, Hanbin, apa kau sedang melamar puteriku?”

“Ya, Tuan. Kupikir noona bisa merawatku dengan baik.”

“Tapi Hanbin, nona Ran adalah calon istri kakakmu.”
Tuan Kim menengahi anak bungsunya, melihat Jinwoo yang mendadak diam. Ran yang tak mengerti apa yang terjadi hanya bisa berkata.

“Eh Hanbin, kupikir tak perlu menjadi istrimu untuk merawatmu. Toh aku akan menjadi seorang dokter. Sering – seringlah mengunjungiku nanti.”

—–

“Err, kau masih menyimpannya, rupanya.”

“Tentu saja, ini kan pemberian darimu.”
Hanbin tersenyum lagi.

“Kau tahu, Ran, kupikir kita memang ditakdirkan untuk bersama. Aku bahkan tidak mengenalimu ketika kau menemukan Hanbyul dahulu.”

Enough cheese, Kim Hanbin.”

“Hahaha, aku serius. Melihatmu dan Hanbyul, benar – benar meyakinkanku bahwa Kau memang gadis yang tepat untukku, untuk keluarga kami.”

“Aku tetap menuntut penjelasan darimu dan ayah ketika aku kembali ke Seoul nanti.”

“Oh tentu saja. Akan kujelaskan semuanya hingga bagian terdetilnya. Tapi sebelum itu,”
Pemuda itu merogoh saku vest yang dipakainya.

“Maukah kau mengenakan ini?”
Dan mengangsurkan kotak lain yang berisi satu cincin emas tipis dengan mata lapis lazuli yang berkilau terkena mentari sore London.

-Fin-

Ah apa – apaan sih ini kenapa jadinya absurd begini???
Kebiasaan sih kalau nulis sekali jadi tuh pasti ujung – ujungnya ngelantur kemana – mana. =____=

Padahal ide awalnya cuman pengen bikin Ran ketemu lagi sama Hanbin setelah tiga tahun. Tapi malah flashback yang menyeret Kim Jinwoo segala hahaha. Duh otak manusia memang rumit, iya maksudnya otak saya. Udah ah, mau gimana lagi. Males ngeditnya. Bisa bikin fluff yang gantung kayak gini aja udah untung banget nggak sad-ending lagi hahaha.
Hanbin, maafin noona ya dek? Ini semua murni cuma curhatan noona xD
Berkat Long Time No See yang sukses jadi earworm, dan foto ini!
image

Hanbin is really a bias-wrecker. Dan dek, kamu 100% lebih ganteng pake poni! *throw away all of Hanbin caps*

Iya, ceritanya saya emang baru nonton Mix and Match.
Awalnya sih nggak mau nonton sama sekali malahan, karena saya sebenernya adalah Team A biased. Tapi mau bagaimana lagi, Kim Hanbin emang hobinya merusak tatanan bias -,-
Maaf ya, Taehyun. Noona ngambek sama kamu malah nge-fluffy sama Hanbin.

Buat nama OC, uhm, itu karena saya udah stuck aja sih. Jadinya diputuskan Rin untuk Winner dan Ran untuk iKon. Ya saya nggak tahu kapan mau bikin lagi tentang iKon, kalau nggak one way begini bakalan susah soalnya ide mengalir, hahaha.

Ah sudahlah, harusnya saya ngepost sesuatu tentang Kim Donghyuk ucucu (?) yang mau ulang tahun kenapa saya malah bikin cerita tentang Hambina? Orz..

Anyway, selamat tahun baru 2015 semua !
Dan
Selamat datang tahun saya »» Tahun Domba ! \o/

Resolusi 2015 saya untuk wordpress ini nggak muluk – muluk ; bisa post semua draft yang kepending di wordpress \o/
Karena bahkan cerita ini sudah saya buat sejak bulan November hahaha.

Leave a comment